Jumat, 14 Maret 2014
Browse »
home»
dihanyutkan
»
hukum
»
ke
»
laut
»
melanggar
»
pasangan
»
selingkuh
»
tidak
»
Pasangan Selingkuh Dihanyutkan ke Laut Tidak Melanggar Hukum
MAMUJU - Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Adi Arwan Alimin, menuturkan bahwa hukum adat yang diberikan kepada pasangan selingkuh warga Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat dengan menghanyutkan ke laut, adalah bagian dari kearifan lokal yang dihormati secara turun-temurun. Bentuk hukum adat ini memang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
"Yang terjadi di Desa Sumare itu adalah bentuk dari kearifan lokal yang kita tahu hari ini sebagai hukum adat. Itu menjadi konsesi masyarakat, dihargai dan dijunjung tinggi. Saya kira itu tidak melawan hukum negara, seperti hukum pidana. Sebab bentuk hukum adat itu disepakati dan diterima masyarakatnya," kata Adi, Jumat (27/4/2012).
Hal demikian itu tumbuh dan lahir dari konsesi masyarakat. Siapapun diantara mereka pasti menerima resikonya. Menurut Adi, yang terjadi di Desa Sumare itu hanya perspektif budaya. Tidak ada sangkut pautnya dengan hukum negara.
Diakui, hukum negara dapat menyentuh semua elemen. Namun disebuah komunitas tertentu ada yang dikenal sebagai aturan adat dan tidak tercantum dalam butir-butir yang diatur oleh hukum negara.
"Saya kira itu wajar dan bisa terjadi dimana saja. Seperti di Nagroe Aceh Darussalam ada hukum rajam. Itu disepakati sebagai Perda. Di Mandar pun demikian, ada hukum denda sapi atau kerbau jika terbukti bersalah. Atau seseorang diusir dari kampung. Itu bagian dari hukum adat," ujarnya.
Pada zaman dulu pelaku perzinahan, pembunuhan dan pencurian benar-benar dihukum mati secara adat. Dikisahkan, pada saat zaman kerajaan Balanipa di tanah Mandar, ada seorang anak Paqbicara (pejabat penting kerajaan) yang dihukum mati karena terbukti membunuh warga tidak bersalah.
Adi Menuturkan bahwa seorang raja pun dapat dibunuh jika terbukti bersalah. Sekedar diketahui, seorang raja di Mandar tidak ditentukan oleh keturunan. Tapi dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan dinilai bermanfaat.
"Itulah yang melatarbelakangi almarhum Baharuddin Lopa sangat konsisten pada penegakan hukum. Karena dia melihat ada contoh bahwa seorang anak pejabat pun dihukum, jika terbukti bersalah," tuturnya.
Pasangan Selingkuh Dihanyutkan ke Laut Tidak Melanggar Hukum
ISNIN, 30 APRIL 2012
MAMUJU - Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Adi Arwan Alimin, menuturkan bahwa hukum adat yang diberikan kepada pasangan selingkuh warga Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat dengan menghanyutkan ke laut, adalah bagian dari kearifan lokal yang dihormati secara turun-temurun. Bentuk hukum adat ini memang berbeda dengan daerah lain di Indonesia.
"Yang terjadi di Desa Sumare itu adalah bentuk dari kearifan lokal yang kita tahu hari ini sebagai hukum adat. Itu menjadi konsesi masyarakat, dihargai dan dijunjung tinggi. Saya kira itu tidak melawan hukum negara, seperti hukum pidana. Sebab bentuk hukum adat itu disepakati dan diterima masyarakatnya," kata Adi, Jumat (27/4/2012).
Hal demikian itu tumbuh dan lahir dari konsesi masyarakat. Siapapun diantara mereka pasti menerima resikonya. Menurut Adi, yang terjadi di Desa Sumare itu hanya perspektif budaya. Tidak ada sangkut pautnya dengan hukum negara.
Diakui, hukum negara dapat menyentuh semua elemen. Namun disebuah komunitas tertentu ada yang dikenal sebagai aturan adat dan tidak tercantum dalam butir-butir yang diatur oleh hukum negara.
"Saya kira itu wajar dan bisa terjadi dimana saja. Seperti di Nagroe Aceh Darussalam ada hukum rajam. Itu disepakati sebagai Perda. Di Mandar pun demikian, ada hukum denda sapi atau kerbau jika terbukti bersalah. Atau seseorang diusir dari kampung. Itu bagian dari hukum adat," ujarnya.
Pada zaman dulu pelaku perzinahan, pembunuhan dan pencurian benar-benar dihukum mati secara adat. Dikisahkan, pada saat zaman kerajaan Balanipa di tanah Mandar, ada seorang anak Paqbicara (pejabat penting kerajaan) yang dihukum mati karena terbukti membunuh warga tidak bersalah.
Adi Menuturkan bahwa seorang raja pun dapat dibunuh jika terbukti bersalah. Sekedar diketahui, seorang raja di Mandar tidak ditentukan oleh keturunan. Tapi dipilih berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan dinilai bermanfaat.
"Itulah yang melatarbelakangi almarhum Baharuddin Lopa sangat konsisten pada penegakan hukum. Karena dia melihat ada contoh bahwa seorang anak pejabat pun dihukum, jika terbukti bersalah," tuturnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar